Hijab dan Identitas: Kisah Rowaida Abdelaziz Menantang Narasi Arus Utama Lewat Jurnalisme
Awal Perjalanan Seorang Jurnalis Berhijab
Aurafemi.com - Rowaida Abdelaziz bukan nama yang asing di dunia jurnalisme Amerika. Sebagai reporter di HuffPost yang fokus pada isu-isu Muslim-Amerika, Islamofobia, dan keadilan sosial, ia menempati posisi yang tak hanya menantang secara profesional tetapi juga sarat makna personal. Mengenakan hijab dalam industri media arus utama di Barat—yang sering kali menyimpan bias terhadap simbol keislaman—menjadikannya sosok yang berdiri di garis depan dua dunia: jurnalisme dan identitas Muslimah.
Sejak awal, Rowaida tidak datang dari latar belakang yang dipenuhi privilese media. Ia menapaki kariernya dengan ketekunan, dimulai dari magang, lalu meliput peristiwa-peristiwa penting di komunitasnya. Namun, yang membedakan perjalanannya adalah bahwa ia tidak pernah melepaskan identitasnya sebagai perempuan berhijab. Dalam banyak wawancara, ia mengungkap bahwa keputusan mengenakan hijab datang dari pemahaman spiritual dan kultural yang mendalam. Itu bukan sekadar atribut keimanan, tapi juga bentuk ekspresi diri yang tak bisa ditawar.
Tantangan dan Tekanan Menjadi Muslimah di Dunia Media
Tak bisa dimungkiri bahwa kehadiran seorang perempuan Muslim yang berhijab di newsroom Amerika Serikat memicu banyak asumsi dan ekspektasi. Dalam kariernya, Rowaida harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan sinis, penilaian yang bias, hingga keraguan terhadap objektivitasnya sebagai jurnalis hanya karena ia mengenakan hijab. Namun, di balik tekanan itu, Rowaida justru menemukan ruang perjuangan.
Ia menyadari bahwa kehadirannya tidak hanya penting untuk dirinya sendiri, tapi juga bagi ribuan orang di luar sana yang jarang melihat representasi Muslim yang adil di media. Baginya, “being visibly Muslim is an act of resilience”—menjadi Muslim yang terlihat adalah bentuk keteguhan yang tak selalu butuh teriakan, tapi hadir dalam konsistensi dan komitmen terhadap kualitas kerja.
Dalam berbagai forum, Rowaida kerap menegaskan bahwa jurnalisme tidak bisa netral jika keberpihakan terhadap kebenaran dikaburkan oleh sistem. Maka dari itu, ia berani menyuarakan isu-isu seperti pengawasan berlebihan terhadap komunitas Muslim, diskriminasi institusional, dan narasi yang menyudutkan Islam. Ia meliputnya dengan sudut pandang yang dekat, tanpa mengorbankan integritas jurnalistik.
Hijab sebagai Sumber Kekuatan dan Perspektif Unik
Salah satu kekuatan paling nyata dari jurnalisme Rowaida adalah kemampuannya membingkai cerita dari dalam, bukan dari luar. Hal ini tidak lepas dari pengalamannya sebagai Muslimah berhijab. Ia tak datang sebagai outsider yang mengamati, tetapi sebagai insider yang mengerti kerumitan dan nuansa komunitas Muslim.
Dalam wawancara bersama Haute Hijab, Rowaida menjelaskan bagaimana “hijab is both personal and political.” Bagi dirinya, hijab adalah pengingat spiritual sekaligus simbol yang membentuk interaksi sosial. Ia mengakui bahwa tampil dengan hijab di ruang redaksi besar seperti HuffPost berarti selalu siap untuk dilihat lebih dulu sebagai “Muslimah” sebelum “jurnalis.” Tapi justru dari sanalah ia mengasah keberanian, disiplin, dan empati yang kemudian menjadi fondasi kerjanya.
Sebagaimana ia tulis dalam opininya di HuffPost, “Saya tidak hanya mewakili diri saya, tapi juga suara-suara yang sering kali tak terdengar di meja redaksi. Hijab saya membuat saya terlihat, tapi saya ingin dikenal karena pekerjaan saya.”
Menantang Representasi Stereotip dalam Media
Rowaida kerap kali menyampaikan kritik terhadap cara media arus utama meliput komunitas Muslim. Menurutnya, terlalu banyak liputan yang hanya muncul ketika ada tragedi, kekerasan, atau kontroversi. Ia berjuang melawan narasi tunggal tersebut dengan menulis cerita-cerita yang mengangkat sisi kemanusiaan, kompleksitas, dan kontribusi positif Muslim-Amerika.
Dalam satu artikel, ia menuliskan kisah tentang keluarga imigran Muslim yang menghadapi deportasi, dengan pendekatan yang penuh empati namun tetap faktual. Ia juga sering menyoroti pengalaman generasi kedua Muslim Amerika yang mencoba berdamai antara warisan budaya dan tuntutan sosial. Pendekatan ini bukan hanya menunjukkan penguasaan materi, tapi juga kedalaman pengalaman yang membentuk kualitas liputan.
Tak berlebihan jika kontribusinya menjadi referensi utama bagi jurnalis muda Muslim yang ingin masuk ke dunia media tanpa harus mengorbankan keyakinan mereka.
Menjadi Simbol Representasi yang Inspiratif
Keberanian dan konsistensi Rowaida Abdelaziz telah menjadikannya simbol representasi yang kuat, bukan hanya untuk Muslimah di Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Ia membuka pintu bagi diskusi tentang inklusi, keberagaman, dan bagaimana penampilan luar seperti hijab seharusnya tidak dijadikan penghalang profesionalisme.
Kini, Rowaida sering diundang sebagai pembicara dalam forum jurnalisme global, diskusi seputar kebebasan beragama, serta mentoring untuk generasi muda. Ia tak hanya dikenal karena karya jurnalistiknya yang tajam, tapi juga karena komitmennya dalam menjaga nilai-nilai yang ia percayai.
Bagi banyak orang, hijab Rowaida Abdelaziz bukan sekadar simbol religius. Ia adalah narasi tentang kekuatan perempuan dalam membentuk jalur karier mereka sendiri tanpa harus melepas identitas. Ia adalah bukti bahwa hijab dan profesionalisme bukan dua kutub yang berseberangan, melainkan bisa saling melengkapi dan memperkuat.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Perjalanan Rowaida?
Perjalanan Rowaida Abdelaziz mengajarkan kita bahwa integritas tidak harus dikompromikan demi diterima. Dalam dunia yang penuh tekanan untuk menyesuaikan diri, ia menunjukkan bahwa keaslian justru bisa menjadi kekuatan utama. Dengan hijabnya, ia telah menulis ulang narasi tentang siapa yang layak menjadi jurnalis, siapa yang layak didengar, dan siapa yang berhak menentukan cara mereka tampil di dunia publik.
Dan di tengah dinamika jurnalisme yang terus berubah, Rowaida tetap menjadi suara yang konsisten—suara yang tidak hanya melaporkan kebenaran, tetapi juga mewakili mereka yang selama ini diam.